REALITAS.CO.ID – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Provinsi Gorontalo akhirnya buka suara soal polemik harga tebu di daerah.
Ketua DPD APTRI Gorontalo, H. Wasito Sumawiyono, menegaskan bahwa keputusan Kementerian Pertanian yang merevisi harga tebu menjadi Rp660 ribu per ton harus diberlakukan sejak awal masa giling tahun 2025, yakni Februari, bukan hanya setelah edaran terbit pada Juli.
Menurut Wasito, logikanya sederhana. Saat harga naik dari Rp510 ribu ke Rp540 ribu pada April lalu, selisih Rp30 ribu tetap dibayarkan surut ke petani sejak Januari. Maka ketika harga direvisi lagi menjadi Rp660 ribu, semestinya selisih Rp120 ribu per ton juga berlaku surut untuk seluruh musim giling 2025.
“Keputusan dan penegasan tanggal 7 September jelas, harga tebu petani Gorontalo ditetapkan Rp660 ribu per ton sejak awal masa giling. Itu artinya berlaku keseluruhan, dari Februari sampai panen berakhir. Sama seperti logika APBN atau APBD, meski perubahan diputuskan di tengah tahun, konsekuensinya berlaku untuk satu tahun berjalan,” tegasnya.
Meski sudah ada edaran revisi dan kesepakatan dalam rapat mediasi yang dipimpin langsung Dirjen Perkebunan, Pabrik Gula (PG) Tolangohula disebut belum mau menjalankan keputusan tersebut. Hingga kini, tebu petani masih dibayar dengan harga Rp540 ribu per ton.
“Pihak PG menolak tanda tangan berita acara kesepakatan. Mereka beralasan masih harus koordinasi dengan Dirjen, padahal saat rapat Dirjen sudah tegas menyatakan harga Rp660 ribu berlaku sejak awal masa giling. Kami menilai sikap manajemen PG ini arogan dan merugikan petani,” ungkap Mantan Aleg DPRD Provinsi Gorontalo yang juga petani tebu itu.
Wasito juga menyoroti ironi harga tebu di Gorontalo. Menurutnya, meski harga gula produksi PG Tolangohula termasuk yang paling mahal di Indonesia, harga tebu justru paling rendah dibandingkan petani di Jawa, Sulawesi Selatan, Lampung, maupun Sumatera Selatan.
“Dengan rendemen (kadar gula pada tebu) 7 persen, seharusnya harga tebu kami minimal Rp700 ribu per ton. Tapi yang diberlakukan hanya Rp660 ribu. Itu pun belum dijalankan. Jadi jelas ada ketidakadilan. Petani Gorontalo ini bagian dari petani tebu nasional, tapi diperlakukan berbeda,” ujarnya.
Ketua APTRI Gorontalo menegaskan, perjuangan petani bukan soal meminta kenaikan harga semata, melainkan meminta ketegasan pemerintah. Jika PG tetap mengabaikan edaran resmi, pemerintah harus turun tangan dengan memberikan teguran, bahkan mencabut izin operasional.
“Pabrik gula bukan sekadar bisnis. Ada mandat negara untuk mendukung swasembada gula nasional. Karena itu, perusahaan tidak boleh semena-mena memperlakukan petani. Kami mendesak pemerintah tegas, jangan membiarkan aturan dilanggar,” pungkas Wasito.
Saat ini, terdapat lebih dari 1.500 kepala keluarga petani tebu di Gorontalo dengan luas lahan sekitar 1.300–1.400 hektar. Produksi setiap musim giling diperkirakan mencapai 80 ribu–100 ribu ton tebu. Namun, para petani masih harus jalan menghadapi keterbatasan infrastruktur dan akses kebun yang sebagian besar dibiayai mandiri melalui iuran kelompok (partisipasi).
Ketua DPC APTRI Kabupaten Gorontalo, Heri Purnomo berharap kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk konsisten dan tegas dengan keputusan yang sudah sepakati pada tanggal 07 September 2025. Adapun dalam kesepakatan tersebut tertuang beberapa poin.
1. PT. PG Gorontalo melaksanakan penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT) sesuai dengan surat Direktur Jenderal Perkebunan. Nomor : B-853/KB.110/E/07/2025, tanggal 21 Juli 2025 yaitu pembelian tebu dengan harga Rp 660.000 per ton tebu.
2. Harga Pokok Penjual (HPP) tebu sebesar Rp 660.000 per ton tebu berlaku untuk masa giling tahun 2025.
3. Apabila poin 1 tidak dilaksanakan oleh PT. PG Gorontalo paling lambat 14 September 2025, maka pemerintah akan memberikan tindakan tegas sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
4. Menjelang musim giling selanjutnya, pihak pabrik gula dan pekebun tebu rakyat melakukan kesepakatan sistem penyerahan tebu (SPT atau SBH) dengan diketahui oleh dinas yang membidangi perkebunan.
“Nah disini kita ketahui bersama, bahwa PT PG Gorontalo hingga saat ini mengabaikan penerapan Sistem Pembelian Tebu sesuai dengan surat edaran dari Kementaan RI lewat Dirjen Perkebunan. Mana janji pemerintah yang katanya akan memberikan sanksi tegas apabila PT. PG Gorontalo tidak menerapkan SPT sesuai surat edaran Dirjen Perkebunan. Maka saya selaku Ketua APTRI Kabupaten Gorontalo meminta kepada pemerintah untuk memberikan sanksi tegas kepada pihak perusahaan,” harapnya.
Sementara itu, sikap Pemerintah Provinsi Gorontalo, melalui Kepala Dinas PTSP Provinsi Gorontalo, Sultan Kalupe, membenarkan adanya laporan dari petani terkait praktik pembelian tebu yang belum sesuai ketentuan. Ia menyebut, pihaknya telah melakukan pemanggilan serta pengecekan langsung di lapangan.
“Iya benar, mereka (PT PG Gorontalo) menyampaikan masih akan berkonsultasi dengan jajaran direksi dan diberikan waktu satu minggu,” kata Sultan.
Menurut Sultan, pencabutan izin usaha PT PG Gorontalo memang bisa dilakukan, tetapi menjadi opsi terakhir setelah mekanisme sanksi administratif dijalankan.
“Kami masih menunggu surat peringatan dari Direktorat Jenderal Perkebunan, karena surat edaran dikeluarkan oleh mereka. Setelah ada surat itu, PTSP akan menindaklanjuti sesuai ketentuan,” jelasnya.
Ia menambahkan, sanksi yang dapat dikenakan mulai dari teguran tertulis hingga penghentian sementara izin usaha.
“Tidak langsung dicabut izinnya, tetapi dilakukan penghentian sementara. Jika pihak pabrik kemudian hari menyesuaikan harga sesuai edaran Kementan, maka penghentian sementara itu otomatis gugur,” tegasnya.