Gorontalo – DPRD Provinsi Gorontalo kembali tercoreng. Dua anggota dewan dari dapil yang sama, Boalemo–Pohuwato, menjadi buah bibir publik bukan karena prestasi, melainkan skandal. Bedanya, satu sudah ditindak tegas, sementara satunya lagi dibiarkan berkeliaran tanpa kepastian hukum.
Wahyudin Moridu (PDIP), yang videonya viral saat mengaku akan “merampok uang negara” lewat perjalanan dinas. PDIP tak menunggu lama: DPP langsung memecatnya, tanpa banyak basa-basi. Langkah ini setidaknya menunjukkan, partai banteng masih punya standar etika untuk menyapu kader yang mempermalukan rakyat.
Namun berbeda dengan Mustafa Yasin (PKS). Puluhan jamaah haji dan umrah menjerit kehilangan miliaran rupiah akibat ulahnya. Modus yang dipakai: memberangkatkan jamaah dengan visa kunjungan atau visa kerja, alih-alih visa haji resmi. Akibatnya, banyak yang gagal wukuf di Arafah, puncak ibadah haji yang nilainya tak tergantikan.
Jika Wahyudin hanya “mabuk ucapan”, maka Mustafa jelas “mabuk uang jamaah”. Skandal ini bukan sekadar etika, tapi dugaan tindak pidana: penipuan, penggelapan, bahkan penelantaran jamaah di tanah suci. Bukti transfer, testimoni korban, hingga laporan resmi ke Polda Gorontalo, Polda Maluku Utara, Polres Halteng, hingga Polres Boltim mempertegas fakta ini.
Namun apa sikap PKS? Sunyi dan terlihat “Lombo/Lemah”. Hanya dalih normatif: “kasus sudah ditangani DPP.” Padahal publik menanti sanksi tegas, minimal pemecatan, sebagaimana PDIP terhadap Wahyudin. Nyatanya, Mustafa tetap duduk manis di kursi DPRD, sambil terus mengelola bisnis umrahnya.
PKS selama ini menjual citra bersih, religius, peduli umat. Tetapi fakta di Gorontalo menampar keras klaim itu. Bagaimana mungkin partai dakwah justru membiarkan kadernya dituding menipu jamaah haji, ibadah paling sakral umat Islam.
Jika PKS benar partai dakwah, seharusnya mereka jadi yang paling keras menuntut keadilan untuk jamaah. Namun yang terjadi justru sebaliknya: mereka seakan berlindung di balik retorika, seolah solidaritas politik lebih penting daripada tangisan jamaah yang terinjak-injak.
Slogan-slogan PKS kini runtuh di hadapan kenyataan. Bagi publik, PKS di Gorontalo bukan lagi simbol kesalehan politik, melainkan cermin kemunafikan.
Badan Kehormatan (BK) DPRD sempat berkoar akan memproses kasus ini dengan “transparan, objektif, dan berdasarkan nilai adat dan agama”. Tapi sampai hari ini, Mustafa tetap kebal. Kesaksian jamaah sudah diambil, laporan sudah masuk, namun DPRD lebih nyaman menjadi penonton ketimbang hakim moral. Atau jangan-jangan….?
Jika DPRD tak berani menindak anggotanya sendiri, untuk apa lembaga itu ada? Jangan-jangan DPRD bukan rumah rakyat, melainkan sekadar tempat berlindung bagi aleg yang berbuat salah dan melakukan perbuatan yang tercela.
Mustafa bukan sekadar aib politik, tapi ancaman hukum. Pasal penipuan dan penggelapan sudah menunggu. Kerugian jamaah sudah nyata, penderitaan mereka teramat dalam. Publik kini menunggu: apakah aparat penegak hukum berani menyeret Mustafa ke meja hijau, atau akan berhenti di ruang lobi politik yang penuh kompromi?
Kasus Wahyudin dan Mustafa membuktikan: rakyat selalu jadi korban. Dari wakil rakyat yang bercanda soal “merampok negara”, hingga wakil rakyat yang menjadikan ibadah suci sebagai ladang bisnis.
Dan yang lebih memalukan: partai yang mestinya jadi penjaga moral malah terlihat sibuk melindungi kader. PDIP bisa tegas, mengapa PKS memilih diam?
Jawaban ini akan menentukan, apakah PKS benar-benar partai dakwah, atau sekadar partai yang menjadikan agama sebagai tameng politik.
Penulis : David Mohamad.